Oleh: Simen Blokland
“Semua aman,” kata seseorang pada saya saat kami telah berlabuh di Desa Kota Kusuma. Koper-koper saya terlihat bergerak ke tiga arah dan saya harus berpose untuk beberapa foto. Saya pasti telah memberikan kesan pada pria baik itu bahwa saya sedang merasa tidak nyaman. Tampaknya barang-barang saya telah dibawa ke mobil yang akan membawa kami ke penginapan dan setelah keadaan yang riuh ini, kedamaian datang. Penginapan tersebut tampak menyenangkan, dengan ruang yang cukup untuk bergerak, nasi di meja, dan semacam kamar mandi. Ketika kami berjalan di sekitar blok, kami menemukan jalan rusak yang berpasir dengan lebar tidak lebih dari dua meter, dengan banyak ayam, rumah dengan batu-batuan berkilau, dan gunung di kejauhan yang ditutupi oleh berbagai pohon palem dan spesies tumbuhan berdaun lebar. Suara dari banyak masjid terdengar di segala arah lima kali sehari dan bahkan dapat terdengar ketika berada di dalam hutan dan di antara gunung-gunung. Di sisi lain gunung, daratan bertemu dengan lautan lagi yang dapat kamu temukan hampir di setiap lokasi kamu berada. Saya lahir di sebuah pulau di bagian selatan Belanda, jadi saya suka melihat air di garis horizon, tetapi tempat ini merupakan negara yang sangat berbeda sehingga saya tidak bisa memperkirakan apa yang akan terjadi. Hal pertama yang terpikirkan oleh saya adalah tempat ini kering. Sudah enam bulan hujan tidak turun. Untungnya, curahan hujan pertama, sebagai pesan awal datangnya musim hujan, telah turun minggu lalu. Mulai sekarang, sawah masih kering dan kosong, tetapi sebentar lagi akan menjadi hijau dan memenuhi kebutuhan orang-orang. Walaupun sungai-sungai jarang penuh dengan air, iklim di tempat ini baik-baik saja. Ya, di sini panas, dan tidak ada angin sungguhan, tetapi cuacanya tidak se-menekan di Jawa. Walaupun kegiatan apapun menyebabkan hipertemia, terkadang angin dingin mengalir (bukan bertiup) dari laut ke pulau. Cukup untuk menjaga homeostatis. Kehausan tetap tidak akan berakhir, tetapi sepertinya saya akan terbiasa.
“Semua aman,” kata seseorang pada saya saat kami telah berlabuh di Desa Kota Kusuma. Koper-koper saya terlihat bergerak ke tiga arah dan saya harus berpose untuk beberapa foto. Saya pasti telah memberikan kesan pada pria baik itu bahwa saya sedang merasa tidak nyaman. Tampaknya barang-barang saya telah dibawa ke mobil yang akan membawa kami ke penginapan dan setelah keadaan yang riuh ini, kedamaian datang. Penginapan tersebut tampak menyenangkan, dengan ruang yang cukup untuk bergerak, nasi di meja, dan semacam kamar mandi. Ketika kami berjalan di sekitar blok, kami menemukan jalan rusak yang berpasir dengan lebar tidak lebih dari dua meter, dengan banyak ayam, rumah dengan batu-batuan berkilau, dan gunung di kejauhan yang ditutupi oleh berbagai pohon palem dan spesies tumbuhan berdaun lebar. Suara dari banyak masjid terdengar di segala arah lima kali sehari dan bahkan dapat terdengar ketika berada di dalam hutan dan di antara gunung-gunung. Di sisi lain gunung, daratan bertemu dengan lautan lagi yang dapat kamu temukan hampir di setiap lokasi kamu berada. Saya lahir di sebuah pulau di bagian selatan Belanda, jadi saya suka melihat air di garis horizon, tetapi tempat ini merupakan negara yang sangat berbeda sehingga saya tidak bisa memperkirakan apa yang akan terjadi. Hal pertama yang terpikirkan oleh saya adalah tempat ini kering. Sudah enam bulan hujan tidak turun. Untungnya, curahan hujan pertama, sebagai pesan awal datangnya musim hujan, telah turun minggu lalu. Mulai sekarang, sawah masih kering dan kosong, tetapi sebentar lagi akan menjadi hijau dan memenuhi kebutuhan orang-orang. Walaupun sungai-sungai jarang penuh dengan air, iklim di tempat ini baik-baik saja. Ya, di sini panas, dan tidak ada angin sungguhan, tetapi cuacanya tidak se-menekan di Jawa. Walaupun kegiatan apapun menyebabkan hipertemia, terkadang angin dingin mengalir (bukan bertiup) dari laut ke pulau. Cukup untuk menjaga homeostatis. Kehausan tetap tidak akan berakhir, tetapi sepertinya saya akan terbiasa.