Kami begitu terkejut dan juga tertawa lebar ketika kami menemukan video ini di kamera jebak kami! Babi kutil dan monyet ekor panjang makan bersama!
|
Tidak ada pom bensin di Bawean. Penduduk biasa membeli bensin di warung dan kita juga bisa membeli di retail. Bawean juga tidak mempunyai mal atau pusat perbelanjaan, tapi disini banyak pasar tradisional yang buka sejak subuh. Mereka menjual segalanya seperti makanan tradisional dan kebutuhan lain seperti pakaian, peralatan mandi, dan macam-macam. | Foto oleh Fanti |
Ditulis oleh Shafia Zahra
Asbut (asap kabut) akibat kebakaran di Sumatera dan Kalimantan adalah salah satu berita yang banyak muncul di media Indonesia akhir-akhir ini. Saya ingin medeskripsikan fenomena ini sebagai kriminalitas terbesar di abad ini bagi kemanusiaan dengan penduduk yang tinggal di tiga pulau utama (Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi) sebagai korban. Sedihnya, walaupun bencana ini telah banyak diinformasikan di Indonesia, tidak semua orang belajar darinya, termasuk masyarakat di Pulau Bawean. Sebagian besar orang memilih untuk menyalahkan pemerintah tanpa memperhatikan masalah utama, yaitu kerusakan hutan.
Ini adalah ketiga kalinya saya ke Pulau Bawean dan saya menemukan laju kebakaran hutan di pulau ini menjadi semakin parah. Pada bulan November 2014, ketika saya pertama kali datang ke pulau ini, masyarakat lokal biasanya membakar hutan masyarakat yang terletak dekat jalan utama sehingga mudah untuk diketahui. Sampai saat itu, polisi hutan tidak dapat melakukan apapun karena hutan tersebut terletak di luar kawasan lindung sehingga legal untuk membakar hutan tersebut. Walapun demikian, sekarang pada Oktober 2015, pada kunjungan ketiga saya, masyarakat membakar hutan masyarakat dekat dengan perbatasan kawasan lindung. Karena saat ini musim kemarau, ketika angin berembus dengan kencang dan hujan tidak turun selama tujuh bulan, dampaknya dapat diprediksi dengan mudah: kebakaran menyebar hingga kawasan lindung. Beberapa bagian hutan sekarang sedang terbakar, contohnya di Alas Timur (lihat gambar) dan sangat dekat dengan Payung-payung, tempat di mana kami memasang camera trap.
Hutan masyarakat terbakar di dekat Payung-Payung
Pada siang hari saat kami pulang setelah memasang camera trap, kami dapat melihat asap tebal yang bergerak ke atas dari tempat-tempat di hutan bukit. Kami tidak tahu hutan mana yang sedang dibakar. Polisi hutan telah mencoba mencegah pembakaran hutan, sayangnya mereka tidak memiliki bukti yang cukup bahwa warga yang menyebabkan kebakaran dekat atau di dalam kawasan lindung. Alasannya adalah batas kawasan lindung tidak jelas; tonggak-tonggak yang dipasang di sepanjang batas hutan untuk menentukan kawasan lindung kondisinya tidak baik dan beberapa bahkan sudah hilang. Polisi hutan sulit menentukan batas kawasan dari peta, apalagi menjelaskan batas tersebut pada warga. Hasilnya, hanya satu kasus pembakaran hutan di kawasan lindung yang sudah diselidiki sejauh ini.
Tujuan dari pembakaran hutan masih belum diketahui pasti. Berdasarkan asumsi saya, warga tidak mengkhawatirkan kebakaran hutan di Bawean karena mereka yakin bahwa bencana nasional seperti di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi tidak dapat terjadi di area mereka karena tidak ada lahan gambut di Bawean. Mereka lupa bahwa dampak kebakaran hutan bukan hanya asap, tetapi juga kerusakan hutan, bahkan jika kebakaran itu terjadi secara tidak sengaja. Hal tersebut dapat menyebabkan reduksi biodiversitas, kepunahan spesies, dan kerusakan ekosistem. Jika mereka tetap melanjutkan kebiasaan membakar lahan, spesies endemik Bawean yang hanya ada di sini dapat menghadapi kepunahan dalam beberapa dekade ke depan.
Hutan yang terbakar di Alas Timur
Pada kunjungan yang terakhir di Bawean, tim kami berhasil mengamati secara langsung dua kelompok babi bawean yang sedang beraktivitas di sore hari. Dua kelompok tersebut terdiri dari 7 dan 10 individu, termasuk anakan. Babi-babi tersebut tampak tidak terganggu dengan keberadaan tim yang mengamati mereka dan tetap disana hingga lebih dari 30 menit. Bahkan seekor babi datang mendekati Pidi dan Silvi hingga hanya beberapa meter dekatnya! Karena babi bisa berbahaya, mereka mengusir sang babi sebelum dia datang terlalu dekat!
Tentu saja kami juga mengambil catatan yang sangat mendetail tentang seluruh perilaku yang kami amati. Pada kunjungan berikutnya ke Bawean kami berencana untuk mengulang pengamatan yang serupa karena data perilaku babi kutil bawean masih belum pernah dikumpulkan secara sistematik.
(Foto: Sandy Leo, BEKI)
Senin lalu, Iing dari Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga dan Shafia bertemu dengan dua alumni dari Fakultas Kehutanan-IPB yang akan berangkat ke Bawean bulan Oktober nanti untuk melanjutkan kerja kami tentang babi kutil bawean. Dalam pertemuan, mereka berdiskusi tentang proyek dan metode yang kami gunakan, serta mengatur keberangkatan ke Bawean. Kami sangat senang menyambut mereka di tim kami!!!
Shafia Zahra, anggota BEKI sejak BEKI dibentuk, baru saja pergi ke India untuk menyebarluaskan berita tentang penemuan kami. Ia menghadiri “Student Conference on Conservation Science” di Bangalore, India, pada tanggal 8—11 September 2015 untuk mempresentasikan poster mengenai sikap masyarakat lokal Bawean terhadap perusakan sawah oleh babi kutil. “Konferensi tersebut merupakan sebuah pengalaman hebat untuk melihat dan membandingkan bagaimana para konservasionis muda dari seluruh dunia, terutama Asia, bertemu dan berbagi informasi tentang proyek dan upaya konservasi mereka. Bagus sekali BEKI dapat menjadi bagian dari konferensi!”
Poster dapat diunduh di halaman website “JESP Publications”.
Shafia (kanan) dengan teman dan kolega di depan poster pada acara Student Conference on Conservation Science 2015 di Bangalore, India.
Oleh Silvi, foto oleh Iing
Sehari sebelum kami pulang ke Jakarta, kami berkunjung ke sebuah sekolah dasar, yaitu SDN Tanjung Ori 4. Kami bercerita banyak kepada mereka tentang babi kutil bawean. Banyak murid SD yang tidak sadar bahwa babi kutil bawean endemik di Pulau Bawean, dan beberapa tidak tahu bahwa ada babi kutil di sekitar mereka. Jadi, setelah menunjukkan gambar, kami mengajak mereka untuk menggambar babi kutil dengan hanya menunjukkan gambar babi kutil. Semua murid senang menggambar babi. Pemenang kompetisi menggambar babi kutil adalah Syarif. Selamat!!!
Pidi menunjukkan pada anak-anak foto babi kutil bawean dan menjelaskan bahwa mereka endemik di pulau tersebut.
Zum Bearbeiten hier klicken.
Ini adalah kunjungan pertamaku di Pulau Bawean. Bawean adalah pulau yang luar biasa dengan laut yang indah dan pulau lainnya dekat Bawean. Ketika kami sampai di pelabuhan Bawean, Pak Nur, Pak Rahim, dan Pak Abdul menjemput kami. Kami pergi ke kantor untuk berdiskusi tentang tujuan dari kunjungan kami dan rencana kami.
Di waktu luang, saya suka berjalan-jalan dan melihat banyak hal menarik. Sebelum datang ke Bawean, saya berpikir tidak ada sawah karena Bawean sangat panas. Namun, saya dapat melihat sawah yang indah dengan gunung sebagai latar belakangnya.
Sekarang saya akan memberi tahu sedikit tentang kehidupan sosial di sini karena menurut saya gaya hidup di Bawean cukup unik. Setiap hari saya bertemu wanita menjual ikan dengan suara khas “jukok... jukok...”; dalam Bahasa Bawean, “jukok” berarti ikan. Mereka membawa ikan di atas kepala dengan berat sekitar 5—10 kg. Mereka membawa ikan ke mana saja hingga semuanya terjual. Setiap hari mereka berjalan 3—8 km. Wow! Betapa kerja kerasnya mereka! Ketika saya melakukan observasi babi kutil atau memasang kamera jebak, saya selalu bertemu wanita bekerja, saya jarang melihat pria bekerja. Wanita di pasar tradisional menjual pupuk, buah-buahan, ikan, dan sebagainya. Mereka memindahkan barang-barang mereka dengan sebuah gerobak yang biasanya ditarik atau didorong oleh pria.
Burung Hantu Seloputo (Sprix seloputo baweana Oberhoser, 1917): (sub)spesies endemik Bawean lainnya
9/6/2015
Ditulis oleh: Sandy Leo
Pulau Bawean merupakan pulau yang terletak di tengah Laut Jawa dan sangat terisolasi dari Jawa dan Kalimantan. Pulau ini berjarak sekitar 120 km dari Pulau Jawa dan 300 km dari Pulau Kalimantan. Berdasarkan studi biogeografi, Pulau Bawean tidak pernah terhubung dengan daratan utama. Kondisi ini yang kemudian membuat Bawean mempunyai beragam flora dan fauna endemik.
Gambar 1. Pulau Bawean
10 Agustus 2015 merupakan hari yang sangat beruntung bagi kami (tim BEKI). Setelah melakukan survey babi kutil, kami dikejutkan dengan mata besar yang mengintip di antara cabang pohon. Yes!!! Itu adalah burung hantu yang kami cari selama ini, burung hantu seloputo! Pak Rahim, polisi hutan kami mengatakan bahwa orang lokal menyebut burung hantu ini sebagai kukuk beluk. Burung hantu seloputo (Strix seloputo) sekilas terlihat mirip dengan serak jawa atau burung hantu tito (Tyto alba) jika dilihat dari mukanya yang bulat dan badannya, akan tetapi terdapat juga perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan paling mencolok adalah adanya pola bintik pada badan seloputo, yang tidak dimiliki oleh serak jawa.
Gambar. 2 Spotted wood owl Strix seloputo baweana (left) and barn owl Tyto alba (right)
Merujuk pada Avibas (Lepage 2015), Stryx seloputo memiliki 3 subspesies yakni S. seloputo seloputo (Myanmar Selatan, Peninsular Malaysia, Sumatera, dan Jawa), S. seloputo baweana (Pulau Bawean), dan S. seloputo wiepkeni (Filpina selatan). Stryx seloputo baweana mempunyai variasi morfologi yang berbeda dengan subspesies pertama. Hoogerwerf (1967) mengukur dan menemukan S. seloputo baweana bertubuh lebih kecil dibanding spesies lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa area terisolir membuat burung berevolusi dan beradaptasi dengan area yang kecil dengan variasi mangsa yang lebih sedikit. Nijman (2004) juga melaporkan bahwa burung hantu seloputo mungkin memiliki persebaran yang luas di pulau Bawean, tetapi sedikit yang diketahui mengenai detail kelimpahan dan distribusi mereka. Oleh karena itu perlu dilakukan studi survey dan monitoring untuk mengetahui kelimpahan dan distribusi burung cantik endemik ini. Pengetahuan yang didapat menjadi penting untuk menyusun rencana aksi konservasi untuk melindungi burung endemik ini dari ancaman dan memastikan keberlangsungan hidup mereka ke depannya.
Jika kamu ingin membaca lebih banyak:
Hoogerwerf, A. 1967. Notes on the island of Bawean (Java Sea) with special reference to the birds. Natural History Bulletin of the Siam Society 22: 15–104 pp.
Lepage, D. 2015. Avibase – the world bird database. http://avibase.bsc-eoc.org/species.jsp?avibaseid=95C18369B3D381CF. [accessed on Sept, 4th 2015]
Mayr, E. 2001. What Evolution Is. Basic Books, New York: 318 pp.
Nijman, V. 2004. Survey of birds of prey and owls (Falconiformes and Strigiformes) on Bawean, Java Sea, with records of three species new to the island. The Raffles Bulletin of Zoology 52(2): 647–651.
Archives
September 2015
May 2015
January 2015
December 2014
November 2014